Halaman

Senin, Juni 08, 2009

BIBLIOGRAPHY





Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Kamis, 9 Desember 2004

Apresiasi Pengunjung Sangat Beragam
Art Expo 2004

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemeran Seni Rupa dan Dialog Perupa se-Sumatera di GOR Saburai, Bandar Lampung, 7--12 Desember, memang sebuah perhelatan besar pencinta seni rupa, terutama perupa se-Sumatera. Namun, soal apresiasi pengunjung masih sangat beragam.
"Pengunjung ada yang suka berjalan sendiri saat menyaksikan lukisan, juga ada yang bertanya-tanya mengenai lukisan tersebut. Mereka sendiri yang datang ke pameran sangat beragam, dari bapak-bapak pencinta seni rupa, ibu-ibu hingga anak sekolah," kata Sekretaris Panitia Pelaksana Iin Mutmainah.

Dia mengatakan ada yang unik dilakukan pelajar. "Tadi ada serombongan pelajar dari SMAN 5 Bandar Lampung yang datang, tetapi mereka cepat pulang. Namun, ada pelajar SMA Arjuna yang datang dan langsung duduk sambil menggambar lukisan mana yang paling menarik perhatian mereka. Ini sangat unik," kata Iin yang gemar mendongeng keliling ini.
Apresiasi pengunjung yang lumayan disambut hangat kokurator Subardjo. "Padahal lukisan yang lolos dalam pameran kali ini sangat apresiatif, bukan lukisan yang for sale. Saya tidak menyangka ternyata banyak juga lukisan yang laku."

Seniman Lampung yang kini menjadi anggota DPRD Kabupaten Tanggamus, Herman, senada dengan Subardjo. "Lukisan yang dipamerkan masih sangat apresiatif sekali. Padahal, sebagian besar masyarakat masih sangat bergantung pada lukisan realis dan natural."
Dalam pemikiran Herman, Art Expo 2004 sangat identik dengan kemegahan, kemeriahan, dan murah. "Tapi saya belum begitu menemukan dalam ajang pameran kali ini. Padahal, paling tidak ketiga hal itu merupakan daya tarik tersendiri untuk menyedot pengunjung. Apalagi dengan tidak banyak dilibatkannya apresian dari pelajar Lampung," ujar Herman.

Pada masa mendarang, kata Herman, para pelajar inilah yang akan mengapresiasi seni rupa di Lampung dan Sumatera. "Pelibatan mereka (siswa, red) diharapkan membentuk kantong apresiasi baru. Selain itu, perupa Lampung yang mengikuti pameran ini masih terkesan 'malu-malu'."

Puncak ramainya pengunjung, menurut Iin, terjadi di atas pukul 12 siang sampai sore hari. Sedangkan pada malam hari, tidak begitu ramai. Akan tetapi, kondisi tersebut terbalik dengan bazar yang digelar di pelataran parkir GOR Saburai.
Memasuki hari kedua Art Expo 2004, Rabu (8-12), ada dua lukisan yang menarik perhatian peminat. Namun, harganya belum disepakati.
Sekretaris Panitia Pelaksana Iin Mutmainnah menyebutkan kedua lukisan tersebut berjudul "Monolog dalam Ruang Hati" karya Nasrul dan "Musuh-Musuhan" karya Roni Sarwani, keduanya dari Sumatera Barat.

Namun, Iin mengatakan pembeli kini sedang bernegosiasi harga yang ditetapkan. "Kalau untuk lukisan 'Monolog dalam Ruang Hati' dijual dengan harga Rp12 juta. Peminatnya di antaranya Kepala Kantor Perwakilan Amerika di Medan Paul S. Berg," ujar Iin.
Tapi, menurut Iin, hingga kini belum ada kepastian apakah harga tersebut disetujui atau belum. "Memang lukisan tersebut sangat mencuri perhatian setiap pengunjung yang hadir dalam pameran. Penyebabnya adalah lukisan yang bergambar huruf Arab itu memang sangat indah, dan siapa pun yang datang bertanya kok bisa membuat lukisan seperti ini."
Sementara untuk lukisan "Musuh-Musuhan" yang bergambar topeng-topeng wajah di balik jendela kayu, menurut Iin, Hotel Sherathon sangat tertarik dengan lukisan tersebut. "Harganya untuk lukisan tersebut adalah Rp6 juta. Tapi, memang untuk deal-nya sendiri belum disepakati. Makanya kami memasang pita warna putih di dua lukisan tersebut," kata Iin lagi.

Iin mengatakan ada tamu dari Amerika yang juga tertarik terhadap lukisan "Di antara" karya perupa Mahdi Abdullah dari Aceh yang termahal dari seluruh lukisan yang dipamerkan. "Harganya yang diminta perupanya adalah Rp30 juta. Kemarin, dia mengatakan sangat tertarik terhadap lukisan itu karena memperlihatkan budaya bangsanya yang merusak."
Stan-stan yang menjual aneka pernak-pernik tradisional dari daerah Yogyakarta, Lampung, dan daerah lainnya, tampak sepi pengunjung. Hal tersebut bisa jadi disebabkan barang yang dijual relatif mahal. Seperti yang dikemukakan Santi. "Saya tanya harga rok batik, ternyata harganya mahal sekali Rp105 ribu. Padahal, harga di luaran kemungkinan bisa lebih murah," kata Santi. N TYO/M-3



354 Seniman Tampilkan Karya di Manifesto
GALERI NASIONAL INDONESIA, Jakarta




Saat pembukaan pameran "manifesto" di Galeri Nasional Jakarta

Penulis : arif
Released : Kamis, 22 Mei 2008 11:00:41

Sebanyak 354 seniman, dari 15 provinsi yang masih eksis dari angkatan 1960-an sampai sekarang, memamerkan karyanya dalam Manifesto, Pameran Besar Seni Rupa Indonesia, yang dibuka mulai Rabu (21/5) malam. Karya yang ditampilkan cukup beragam, ada karya berupa lukisan, patung, grafis, multimedia dan instalasi, hingga karya-karya seni media baru, seperti video dan foto. Pameran ini dikuratori Jim Supangkat, Rizky A Zaelani, Kuss Indarto, dan Farah Wardani. Jim Supangkat mengatakan, pameran ini adalah manifesto artistik yang sekaligus membawa kesadaran nasional dalam bingkai persepsi dan ekspresi ”art” sekaligus ”seni”. ”Tajuk Manifesto pameran ini tidak dimaksudkan untuk menampilkan suatu konsep seni rupa Indonesia atau suatu pemikiran seni yang menelurkan formulasi seni beridentitas Indonesia.


Pameran Manifesto mengangkat pengertian ’seni’ dan ’seni rupa’ yang subversif dari dunia ’bawah tanah’ ke permukaan dan menjadikannya keyakinan utama dalam praktik seni rupa dan pembacaan karya seni rupa,” katanya. Pelukis yang memamerkan karyanya antara lain Zirwen, Sigit Santoso, Ivan Hariyanto, Eduard, Misbach Tamrin, Teguh Ostenrik, Nasrul, Chusin Setiadikara, M Yatim, dan Joko Sulistiono. Bersamaan dengan pembukaan pameran Manifesto, juga diresmikan patung ruang publik penanda baru Galeri Nasional Indonesia yang berjudul ”Tangan” (Hand) karya Prayitno Saroyo, seniman kelahiran Semarang, 12 Januari 1957.


Menurut Kepala Galeri Nasional Tubagus ”Andre” Sukmana, patung ”Tangan” terpilih dari 58 karya dari 53 pematung. Menurut Tubagus, patung monumental ”Tangan” diperlukan dalam rangka mempertegas Galeri Nasional Indonesia sebagai salah satu landmark yang berada di kawasan budaya, Jakarta. Galeri Nasional Indonesia, yang mempunyai koleksi 1.700 karya, mulai dari karya Raden Saleh hingga seniman yang lebih muda, adalah salah satu lembaga kebudayaan yang menangani perlindungan dan pengembangan koleksi seni rupa. Sumber: Kompas edisi Kamis, 22 Mei 2008(NAL)



PadangKini.com Rabu, 14/1/2009, 22:21 WIB

Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi menandatangani peresmian Galery Lukisan Genta Budaya, Padang.

PADANG--Orang Minangkabau yang dikenal intelek ternyata tidak mampu membangun kerjasama dengan baik dan lemah dalam membangun jaringan.
Hal itu dikatakan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi saat membuka pameran lukisan Minang Progresif di Gedung Genta Budaya Padang, Rabu (14/1).
"Kita sebagai orang Minang selalu dikenal sebagai orang yang memiliki intelektual, memiliki bakat dagang yang ulet, dan dalam dunia pengusaha juga dikenal sebagai orang yang profesional. Namun sesama kita tidak mampu membangun networking (kerjasama) yang baik, kita hampir selalu ingin menang sendiri, hebat sendiri-sendiri," kata Gamawan seperti dikutip dari rilis Humas Pemprov Sumbar.
Padahal dalam era global saat ini, sikap realistis, mau bekerjasama dan berkolaborasi itu sangat penting untuk membesarkan satu sama lain, kata Gamawan.
Karena itu Gamawan mengingatkan agar orang Minang cepat memperbaiki diri agar tidak tertinggal jauh dari bangsa lain. Karena itu komitmen dalam menjalankan profesi dan menjalaninya secara serius dan konsisten amat penting.
"Kita juga berharap para politisi dan biokrasi mesti berpikir adil terhadap semua profesi, karena semua profesi akan mampu membangunan kemajuan yang lebih baik bagi daerah ini sesuai dengan budaya filosofi daerah kita," tambah Gamawan.
Sementara Ketua Eksekutif Genta Budaya Galery Edi Utama mengatakan, saat ini Minangkabau tetap berkembang secara dinamis, telah lahir dan muncul karya-karya seniman Minang yang diterima pada pelelangan seni di beberapa negara tetangga seperti di Singgapura, Filipina, Malaysia serta di Nasional sendiri.Pameran Minang Progresif akan dimulai besok dan berlangsung selama sebulan. Pameran akan diramaikan 31 pelukis Sumbar yakni Alberto, Angga, Amrianis, Achyar Sikumbang, Dwi Agustiono, Evelyna Dianita, Erlangga, FS Sutan, Harnimal, Hamid, Hanafi, Harisman Tojes, Indra, Ismail Z, Iswandi, Irwandi, Jupriani, Khriz Atmaja, M. Ridwan, M. Nasrul Kamal. Nasrul, Romi Armon, Rajudin, Syafrizal, Siska Yuliana, Tomi Erianto, Kamal Guci, Kornelis, Yasrul Sami BB, Yulfa Haris S, Zirwen W Hazri. (*/o)


Karya Seniman ”Rantau” dan ”Kampung”

 Rabu, 28 Januari 2009 00:51 WIB
EDWIN'S GALLERY,Jakarta


Posting by : Administrator
Denyut nadi seni rupa Tanah Air selama ini cenderung berkutat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Ketersediaan infrastruktur pendukung, seperti lembaga pendidikan seni atau galeri yang tersebar di empat daeah, membuat seniman-seniman di daerah itu lebih berkembang ketimbang daerah lain.Denyut nadi seni rupa Tanah Air selama ini cenderung berkutat di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Ketersediaan infrastruktur pendukung, seperti lembaga pendidikan seni atau galeri yang tersebar di empat daeah, membuat seniman-seniman di daerah itu lebih berkembang ketimbang daerah lain.Di Jawa dan Bali, kegiatan lomba atau forum seni mempercepat aktualisasi diri para perupa. Namun di daerah lain, seperti Minangkabau, nyaris tidak ada kegiatan semacam itu. Karenanya, akselerasi perupa di Provinsi Sumatra Barat cenderung menjadi lebih
lambat.Tetapi, hal ini tidak membuat perupa berdarah Minang kehilangan akal. Mereka (khususnya perupa muda) melakukan terobosan individual dengan menempuh pendidikan seni di kota-kota radi. Di Yogyakarta, misalnya. Sejumlah perupa Sumatra Barat mengenyam pendidikan di ISI dan terbukti mampu pula meraih penghargaan prestisius.Sekadar memberi contoh, Iqrar Dinata yang lahir di Sawah Lunto, Sumatra Barat, meraih penghargaan sebagai finalis dari Phillip Morris Asean Award 2003 dan The Best Artwork, Dies Natalis ISI XVIII (2003). Meski begitu, bukan berarti perupa yang beromisili di ibu kota Sumatra Barat kalah kelas dengan rekan-rekan mereka yang ada di Jawa. Sebut saja Zirwen Wira Hazri, Harisman Tojes, Amrianis, Iswandi, Nasrul, Dwi Augustyono, dan Romi Armon. Nama mereka mulai diperbincangkan dalam komunitas seni rupa. Mereka tidak lagi berjarak dengan rekan-rekannya yang menetap di Yogya, seperti Gusmen Heriadi, Tommy Wondra, Masriel, dan Deskhairi. Kini, karya-karya mereka dipajang dalam pameran bertajuk Trap[esium] yang berlangsung di Edwin's Gallery, Jakarta. Sebanyak 29 perupa, terdiri dari 16 seniman Minang yang tinggal di Sumatra Barat dan sisanya dari Kota Gudeg bergabung. Totalnya ada 50 karya, 49 lukisan dan satu patung, yang dipajang sejak tanggal 15 Januari hingga 31 Januari mendatang. Pameran ini dikuratori oleh dua orang sekaligus, yakni Kuss Indarto dan Suwarno Wisetrotomo.Menurut Suwarno, pameran ini mencoba menampilkan karya-karya perupa dari tanah Minangkabau. Baik yang tinggal, menetap, dan berproses di Yogyakarta, atau mereka yang tinggal, menetap, dan berproses di daerah asal. Pameran yang menampilkan wajah ”rantau” dan ”kampung” dalam satu ruang ini menyodorkan segepok asumsi bahwa kondisi seni rupa Minangkabau bagai trapesium. Bangunan segi empat yang dua buah sisinya sejajar, namun tidak sama panjang. ”Faktanya mereka tumbuh kembang dalam atmosfer lingkungan yang berbeda meski sesungguhnya sama,” kata Suwarno. Simak saja lukisan yang dipajang di tempat itu. Nyaris tidak ada yang memvisualisasikan simbol budaya atau estetika khas Minangkabau. Zirwen Hazri, misalnya, menampilkan lukisan Personal Expression, yang menggambarkan eskpresi wajah dua gadis, oriental dan indo, serta seorang bocah yang tersenyum. Komposisi didominasi warna-warna cerah dengan kecenderungan mengarah pada aliran pop. Hal serupa juga terlihat pada lukisan Ctrl+V (Paste) karya Fariko Edwardi, yang memvisualisasikan pria bertelanjang dada dalam beberapa frame. Dalam pandangan Suwarno, hal-hal ini perlu ditinjau kembali oleh para perupa itu. Menurutnya, di masa yang akan datang, persoalan tema atau gagasan karya-karya mereka harus lebih dieksplorasi untuk menghasilkan karya yang coraknya lebih beragam. vic/L-3vic/L-3



Teksture Dalam Lukisan
Tanggal: 01 Jul 2008 - 20 Jul 2008
JOGJA GALLERY


Kurator: Mikke Susanto
Mengerti Tekstur
Pengantar Kuratorial oleh Mikke Susanto
The development of art in general proceeded along distintly separate chanels in the various coutries, but always was governed by the culture and the type of civilization and the available supply of raw materials choice or seletion of which was strongly influenced by climate conditions and the uses to which the works of art were put.

Ralph Mayer, The Artist’s Handbook of Materials and Techiques, 1991

Dalam pandangan umum, bicara tekstur adalah bicara praktik dalam berkarya seni. Dalam lukisan, tekstur merupakan salah satu elemen yang dominan, selain garis dan warna. Tekstur atau nilai raba, secara serampangan dalam bidang umum diartikan permukaan objek, seperti kulit, rambut dan bisa merasakan kasar-halusnya, teratur-tidaknya suatu objek atau benda. Sedangkan tekstur dalam lukisan dimunculkan dengan memanfaatkan kanvas, cat atau bahan-bahan lain seperti cat, pasir, semen, kerikil, zinc white, dan lain-lain. Jika Anda menikmati lukisan, salah satu yang mesti menjadi perhatian adalah nilai rabanya. Saya katakan demikian karena pada dasarnya setiap lukisan memiliki tekstur atau nilai raba.Namun secara khusus dalam pameran ini, pembahasan mengenai tekstur lebih ditonjolkan untuk membantu penonton menganalisis berbagai perbedaan sekaligus hal-hal lain yang mungkin bersifat non-teknis yang terkait pada permukaan lukisan. Tekstur dalam bahasan kali ini lebih dikhususkan pada aspek yang memunculkan perasaan tertentu, karena dimunculkan secara sengaja atau tidak untuk memanipulasi visual guna berbagai keperluan, baik simbolik maupun artistik. Tekstur dalam lukisan bisa dilacak karena pola hias (pattern) yang muncul, tingkat kehalus-kasaran permukaan, sampai pada persoalan penipuan visual yang ditimbulkan oleh media dan teknik tertentu.Dalam perkembangan terkini, semenjak lukisan diandaikan telah ‘tamat’ oleh sejumlah kritikus Postmodern, wacana tekstur semakin tak menentu.

Tradisi melukis dianggap tak terlalu penting dalam wacana seni rupa. Kode-kode penciptaan kreatif hanya menjadi sarana, bukan tujuan wacana. Aspek-aspek yang diperhatikan cenderung pada bagaimana hasil lukisan dimaknai secara filosofis dan mendalam, terutama pada simbol-simbol yang dipakai, bukan pada bagaimana cara membuat lukisan. Sampai-sampai terdapat tren bahwa melukis adalah memaknai kehidupan, bukan terletak pada bagaimana membuat garis, tekstur dan warna. Tinjauan pada elemen formal (seperti garis, tekstur, warna, bahan, alat) dianggap ketinggalan dan tak menarik lagi. Benarkah demikian?Pameran ini mencoba meneguhkan kembali semangat untuk menggali kemampuan teknik, keberadaan media serta berbagai unsur formal berupa tekstur dalam lukisan. Bicara tekstur tentu saja kini tak lagi bicara perkara teknik semata. Tekstur dalam sejumlah besar lukisan yang dipamerkan inipun ternyata menyimpan wacana yang kurang lebih ingin mengingatkan sejumlah pemikiran yang cenderung menihilkan perkara dan unsur formal dalam seni lukis. Ungkapan Ralph Mayer di atas menginspirasi saya mencari sejumlah temuan menarik dalam karya-karya bertekstur dalam pameran ini.

Sub-kurasi 1: Touching the Natureâ. Daya tarik pameran ini adalah dihadirkannya karya-karya yang secara visual berbasis tekstur nyata di atas kanvas. Tekstur nyata di sini dapat dikaitkan dengan 2 hal.
Pertama, karya-karya yang secara teknik dibuat dengan medium yang tidak tunggal alias campuran, misalnya antara akrilik dan kolase kertas di atas kanvas. Karya-karya ini menyajikan tingkat kesulitan yang lumayan rumit, karena dalam seni rupa, penggabungan media yang berlainan bahan dapat berpengaruh pada kekuatan dan keabadian karya itu sendiri. Oleh sebab itu, karya yang bermedium ganda atau lebih memerlukan strategi dan kemampuan mengenal bahan yang dipakai lebih jauh. Inilah masalahnya.
Kedua, karya-karya yang berbasis medium tunggal, yaitu cat minyak saja atau akrilik saja-di atas kanvas. Dalam hal ini karya yang dimaksud adalah karya berbasis medium tunggal, namun dilakukan dengan cara menorehkan bahan lebih dari sebatas tinggi rata-rata cat yang digoreskan di kanvas, alias secara teknis dibuat dengan diplotot, dipalet atau digoreskan secara tebal. Karya ini dihadirkan untuk mengetahui berbagai persoalan tentang dimensi ketiga dalam lukisan cat minyak atau akrilik.Dari dua pendekatan teknik ini, penonton diharapkan dapat menimba perasaan ketika menghadapi karya seni semacam ini. Ada kemungkinan ketika penonton menghadapinya muncul perasaan yang berbeda-beda. Daya tangkap yang berbeda inilah yang sangat mungkin menyebabkan pertaruhan wacana, mulai dari aspek teknik, perkara dan upaya kebersihan karya, sampai pada masalah psikologis yang berbeda-beda.

Karya-karya seperti yang ditampilkan oleh Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno, Hening Swasono, Suwaji, Nyoman Erawan, Edi Sunaryo, M. Agus Burhan, Syaiful Adnan, Stevan Buana, Nasrul, Wayan Danu, Sasya Tranggono, Kartika Affandi, Antonius Kho, Nasirun, Ketut Sugantika, Hadi Susanto, Narsen Afatara, Made Dodit Artawan, Wayan Legianta membuka mata bahwa persoalan tekstur bukan lagi persoalan teknik, tetapi tekstur telah menjadi sebuah kewajiban untuk tampil karena membawa misi non-artitik sekaligus. Keindahan tekstur tidak lagi hanya dilihat karena kasar-halusnya semata. Munculnya dimensi ketiga dalam karya-karya mereka sangat terkait dengan misi politikâ masing-masing karya. Hening ingin memperlihatkan bagaimana cracking menjadi bagian dari persoalan kritik sosial. Nyoman Erawan dengan sangat tegas memberi dimensi lokal (indigenous) pada karya-karyanya dengan menampilkan sisi nilai raba. Agus Burhan menguak kembali kebudayaan lama berupa relief dalam perspektif medium seni modern. Dengan berkutat pada aspek semacam ini, karya-karya mereka berperan untuk memberi aksen tertentu, selain bicara urusan formal semata. Dari karya-karya mereka kita seperti meraba alam yang sesungguhnya amat kaya dengan keindahan.

Sub-Kurasi 2: “Territorial Texture�Sekumpulan perupa membiarkan kanvasnya dipenuhi tekstur tak nyata, bergaris tipis sebagai subjek teknis. Mereka dengan sangat serius meneliti berbagai hal yang terkait antara medium (bahan, alat dan teknik) yang dipakai dengan ide yang diangkat. Banyak hal yang bisa ditarik dalam karya-karya semacam ini.Kecenderungan pertama yang menarik dari munculnya karya bertekstur semu adalah munculnya keterkaitan antara ruang, tekstur dan objek karya. Sekumpulan perupa ini menandai satu persoalan penting berupa “serbuan� garis pada ruang yang semula kosong. “Tekstur� yang dihadirkan dengan berbasis garis kemudian dipakai untuk membentuk ruang (perspektif) dan objek (figur), alias tidak kosong. Serbuan tekstur inilah yang nantinya berpengaruh pada mata penonton sekaligus, yang sudah pasti, berdampak pada narasi, ide dan tema karya. Ruang terasa didominasi oleh tekstur semu. Ruang serasa bergerak karena kemampuan garis yang berulang-ulang. Ada yang mengatakan bahwa kadang serbuan tekstur ini menandai munculnya gejala “horror vacui� alias “ketakutan� akan ruang kosong. Biasanya gejala ini berkelebat bersama dengan kemampuan dan energi seseorang yang sangat kuat disertai emosi psikologis yang tampaknya tak pernah merasa selesai hanya dengan “sedikit gerakan�. Pada diri seniman, energi ini tentu saja akan dikontrol dan dimanifestasi menjadi sebuah aktivitas kreatif. Di sinilah gejala yang sedemikian rupa menjadi menarik. Sejauh mana energi mereka terkuak dan beraksi ketika menghadapi ruang. Inilah ikhtiar awal yang melatarbelakangi pameran ini.Hal kedua yang juga menarik adalah terkait dengan perbedaan diantara mereka. Dengan merangkai tekstur yang dikelola dengan menghadirkan garis-garis (baik yang ruwet maupun yang formal dan terlacak), gejala pembiasan objek menjadi sangat terasa. Objek-objek mesti tidak semuanya dihasilkan dengan menghadirkan tekstur garis tersebut, ternyata menghasilkan gejala lain yang saya sebut sebagai “teritorial tekstur�. Dengan kata lain bahwa setiap perupa ternyata menghasilkan objek-objek dalam karyanya tidak semata-mata memakai senjata tekturnya untuk mencipta objek. Hal inilah yang memunculkan identitas visual secara individu. Tekstur-tekstur yang semula, secara alami, memiliki standar “kelahiran & kemampuan� yang sama, kini beralih wajah, menjadi sebuah tampilan yang memberikan kesan berbeda-beda. Objek bisa tampak lebih dramatis dari sebelumnya, atau objek lebih terasa “ringan� karenanya.Karya-karya Edi Sunaryo, Anggar Prasetyo, Aan Gunawan, Iswandi, Toni Jafar, Erizal AS, Feri Eka Candra, Riduan, Kadek Yudi Astawan, Made Wirata dan Made Ngurah Sadnyana, Widi Kertya Semadi adalah contoh atas kemampuan tekstur semu dalam lukisan.
Sub-kurasi 3: “Pseudo-Texture�Sub kurasi ini mengetengahkan sebuah realitas yang makin menajamkan perbedaan dalam proses berkarya, terutama dalam melihat tekstur. Kajian tekstur selama ini hanya dibahas dari perspektif teknis maupun medium yang dipakai. Jika hanya melihat pendekatan karya formal semacam ini, kita akan terbatas hanya melihat sisi yang selama ini telah banyak dibahas. Dari kajian teknis dan medium semacam ini lahirlah dua jenis penamaan tekstur: tekstur semu dan tekstur nyata. Secara khusus, dalam pameran ini tekstur semu masuk wilayah subkurasi ‘Teritorrial Texture’, sedangkan tekstur nyata masuk dalam subkurasi ‘Touching the Nature’. Namun bila dilacak secara konseptual historis, kini telah terjadi pemecahan dan perubahan dalam mengkaji masalah tekstur. Jika semula banyak pelukis yang memakai tekstur hanya sebagai teknik, kini beberapa seniman melihat tekstur sebagai objek menggambar (melukis). Mereka tidak memperdulikan persoalan dua tektur yang selama ini ada. Bisa dibilang bahwa mereka kini menggambar tekstur sebagai ide.Munculnya respon perupa yang mencoba menelaah kembali isu sejarah seni rupa modern mungkin menjadi salah satu pemicu. Sebagai contoh saja, perupa Muji Harjo menggambar ‘lukisan tekstur Affandi’. Di sini perupa dengan sengaja menampilkan tekstur-tekstur Affandi secara realistik dalam karyanya. Inilah realitas “Tekstur Palsu� yang terjadi dalam seni rupa kontemporer kita. Gejala semacam ini ditengarai oleh kemampuan teknik melukis realis masing-masing personal. Maka tak salah seandainya, kemunculan tekstur palsu menjadi peluang baru dalam wacana formal. Sub-kurasi ini lebih kurang akan mencoba mengemukakan pemikiran bahwa ‘Tekstur Palsu’ biasanya menampilkan 2 ide:1. Menggambar tekstur atau permukaan benda.2. Merespons atau mengekplorasi karya perupa.Karya-karya perupa Choirudin yang mengusung visual buih sabun (meskipun disisi lain lukisan Choirudin juga termasuk dalam subkurasi Territorial Texture), atau karya Suibertus Sarwoko yang menggambar dedaunan dengan amat sangat detail adalah ungkapan jitu dalam mengindera kembali wacana tekstur daun di atas kanvas. Disamping itu masih ada pula karya Muji Harjo yang secara gemilang dan bersih menggumuli batu-batu dengan akurasi teknik yang tinggi adalah contoh keberhasilan perupa dalam melukis tekstur. Dengan teknik yang lain, Julnaidi Ms menggulirkan kemampuannya dalam menciptakan ilusi dengan membuat koin seratus rupiah besar denga teknik realistiknya. Sedangkan Rinaldi diundang karena kemampuannya mengolah detail permukaan tekstur sabut kelapa dalam kanvasnya. Secara khusus karya Ida Bagus Komang Sindu Putra juga menarik perhatian karena dengan keterampilannya mampu memindahkan kesan kertas pada kanvas. Catatan khusus untuk karya Kadek Agus Ardika, ia semula menggubah tekstur-tekstur secara khusus, tidak sama dengan susunan nilai raba es krimnya sebenar-benarnya. Namun pada akhirnya ia menemukan cara untuk menggambarkan susunan tekstur visualisasi coklat es krim dengan metoda tersendiri.Dari 2 hal ini kemungkinan yang dapat diisyarakatkan adalah bahwa lukisan tersebut kemungkinan besar bersifat realistik. Karena bagaimanapun juga, kemampuan untuk memindahkan permukaan atau tekstur benda ke dalam seni lukis yang bersifat ilusif hanya bisa dilakukan dengan teknik melukis secara realis. Dalam kacamata ilmiah, teknik semacam ini dinamakan trompe l’oeil yaitu suatu strategi teknis yang ditempuh dengan maksud agar lukisan yang dibuat dapat memanipulasi pandangan pengamatnya, sehingga yang sebenarnya dua dimensi, akan nampak bervolume/tiga dimensi/meruang/testural. Salah satu yang kerap memakai teknik ini seperti pada lukisan gedung dan interior zaman Barok, dan seperti yang dilakukan oleh Raffael dalam karyanya The School of Athens. Aliran yang banyak memanfaatkan strategi ini adalah Ilusionisme.

Secara singkat tiga hal besar inilah yang akan menjadi dasar “pengikat� dalam kuratorial ini. Bicara perihal tekstur memang tidak sekadar bicara masalah teknik. Tekstur membuka pembicaraan wacana lain; dari medium yang sebelumnya murah dan lumrah, lantas dalam lukisan menjadi mahal; bisa pula dari tekstur juga membicarakan isu lokalitas, iklim, dan wacana kreativitas perupa itu sendiri. Juga jangan lupa bahwa medan seni lukis dewasa ini tidak hanya menyangkut kanvas, cat minyak dan akrilik. Boom seni saat ini seperti kembali menjebak, menjadikan ungkapan Sanento Yuliman bergaung kembali bahwa akrilik dan cat minyak menjadi medium “bangsawan�, sedang medium lain tersepak ke sisi dan nyaris lenyap. Kertas, cat air, arang, pastel dan lainnya menjadi medium “sudra� oleh pembutuh lukisan. Di Indonesia, selain peserta pameran ini, hampir seluruh perupa yang kini eksis pernah mengalami masa ekserimentasi media (khususnya intensif dalam bertekstur nyata). Dengan melihat realitas di atas, di tengah gempita seni rupa Indonesia yang mulai merangkak di ranah internasional, serpihan fenomena semacam ini saya kira layak diangkat dan diingat. Minimal untuk memahami bahwa proses kreatif pada tingkat awal masih tetap dibutuhkan, sebelum bicara hal-hal yang lebih canggih. +++


KALAM DAN PERADABAN
jogja gallery
Dipublikasikan tanggal June 20, 2007 2:30 AM


Dalam pameran ini perupa memberitakan berbagai isu-isu krusial, kontekstual atau kejadian-kejadian terakhir tentang segala hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya dalam karya kaligrafinya. Ia tidak saja berisi huruf-huruf atau ayat-ayat perihal spiritual individu, tetapi juga berupa gagasan tentang persoalan hidup bersama di dunia. Karya-karya yang diharapkan dalam pameran ini tidak saja bertema mengenai persoalan 'vertikal' (habluminallah), namun juga terdapat isu-isu mengenai persoalan hubungan 'horizontal' (habluminannas). Sehingga bisa menjawab persoalan bagaimana cara dan gaya bicara, kata atau kalâm para perupa, menengahi berbagai isu dunia dan benturan peradaban ini?
Dengan mengambil beberapa perupa kaligrafi Indonesia dalam pameran ini, diharapkan mendapat gambaran tentang berbagai hal yang terkait dengannya. Mungkinkah kaligrafi modern lebih banyak dikaitkan dengan pola individu dan lokalitas yang dikepung oleh peradaban Barat? Karena bagaimanapun juga dominasi peradaban Barat yang mengglobal ini akhirnya turut mempengaruhi wajah seni kita ini. Akankah kita temukan wajah dan jejak yang signifikan dalam seni kaligrafi Indonesia saat ini?

The artists of the exhibition can proclaim the contextual crucial issues or actual happenings of any subject occurred in the surroundings through the calligraphy works. It is not simply about the letters or verses of one's spirituality but also of an idea of communal lives in the world. The works expected are not only about the vertical issues (habluminallah) but also horizontal ones (habluminannas) so that it may answer the question on the ways and ways of speaking, words or kalam of the artists, balancing many issues and collision of this civilization?
By taking in the artists of Indonesia's Islamic calligraphy in the exhibition, it is expected that we can acquire any description related to it. Might the modern calligraphy be associated further to the individual models and locality entrapped by West civilization? We have to admit that the domination of global West civilization may affect the features of art. Can we ascertain significant features and traces in Indonesia's calligraphy arts today?

Mikke Susanto [curator]
Peserta Pameran:
KH. Mustafa Bisri, KH. Zawawi Imron, KH. Muhamad Zuhri, AD. Pirous, Didin Sirajuddin AR., Sunaryo, Abay D. Subarna, Erna G. Pirous, Nasirun, Arahmaiani, Titarubi, Agus Kamal, Syaiful Adnan, Syahrizal Koto, Hendra Buana, Tulus Warsito, Hatta Hambali, M. Pramono Irianto, Salamun Kaulam, Yetmon Amier, Nasrul, Rispul, Robert Nasrullah, Zulkarnaini, Ishendri Zaidun, Ismanto,Anwar Sanusi, Chusnul Hadi, Alpred Roza, Meri Suska.
Agenda Pendukung:
Bursa Seni Rupa Kaligrafi Arab
Tur Apresiasi Pelajar dan Mahasiswa
Diskusi Seni
designed by
Orangescale.COM © 2006-2007 JOGJA GALLERY

Pameran Seni Visual
1st Anniversary of Jogja Gallery -
‘PORTOFOLIO’
Jogja Gallery, Jalan Pekapalan No 7, Alun-alun Utara Yogyakarta
Pembukaan Rabu, 19 September 2007, pukul 19.30
Pameran akan dibuka oleh Remy Sylado [Budayawan dan Penulis]
Kurator: Mikke Susanto
 


Seniman peserta pameran: Alexis – Andy Wahono – Antoni Eka Putra – Anthony David Lee - Arie Dyanto – AT. Sitompul – Catur Bina Prasetya - Denny ‘Snod’ Susanto – Deddy PAW- Didik Nurhadi – Dadi Setiyadi – Djoko Pekik – Donna Prawita Arrisuta– Erizal AS – Feri Eka Chandra– Hamdan – Hari Budiono – Heri Purwanto – KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno - I Gede Made Surya Darma - I Gusti Ngurah Udiantara – I Made Arya Palguna – I Made Supena - Iwan Effendi– I Wayan Cahya – I Wayan Sujana Suklu –I Wayan Sumantra - Januri - Luddy Astaghis –Mikke Susanto – M. Irfan - Made Wiguna Valasara– Muji Harjo – Mulyo Gunarso - Nanang Warsito – Nasrul – Nasirun - Nadiah Bamadhaj –Nico Siswanto – Niko Ricardi – Puji Rahayu – Riduan - Robi Fathoni – Saftari – Suraji - Syahrizal Koto – Suroso [Isur]– Wahyu Santosa - Wibowo Adi Utama –Yani Mariyani Sastranegara.“

Senirupa adalah jendela peradaban bangsa, menembus sanubari semua insan, mengisi wawasan pikir, batin serta jiwa, menuju kebijaksanaan hidup dalam kedamaian sejati“- [KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno]Sejak berdiri mulai 19 September 2006 lalu, Jogja Gallery [JG] telah dan terus berupaya memberi sumbangan dalam perhelatan seni rupa di Yogyakarta pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Munculnya galeri-galeri seni yang didirikan oleh masyarakat dan instansi swasta, sangatlah berarti di dalam upaya mewujudkan Yogyakarta sebagai ikon budaya. Jogja Gallery diharapkan mampu menjadi kebanggaan semua pihak dan mampu memberi kegairahan berkarya bagi para seniman. Banyak hal bisa dikreasikan bersama antara Jogja Gallery dengan masyarakat demi mewujudkan impian Yogya menjadi pusat perkembangan dan informasi dunia seni rupa Indonesia. Kepercayaan para seniman mulai tumbuh perlahan bersamaan dengan kepercayaan para kolektor serta masyarakat luas merupakan suatu bukti bahwa seni rupa adalah salah satu alat mewujudkan kedamaian dunia serta menciptakan persaudaraan antar manusia lintas bangsa. Kepercayaan dari teman-teman pers dan para sponsor, merupakan energi penyemangat bagi kami yang tak ternilai. Program demi program kami susun bersama-sama dengan atmosfir ‘kegilaan’ untuk mewujudkan karya terbaik melalui sebuah gelaran pameran. Keterbatasan apapun, selalu menjadikan kami justru semakin tegar dan berani melangkah maju, atas suatu rasa pertanggungjawaban perkembangan dunia senirupa Indonesia, di mana salah satunya ada di pundak Jogja Gallery. Dalam pameran yang ke-16, Jogja Gallery telah menghasilkan berbagai hal: artefak, dokumen, jejaring, pengalaman dan sebagainya. Oleh sebab itu kami membuat sebuah pameran yang diikhtiarkan sebagai sebuah peringatan berdirinya Jogja Gallery. Singkat kata program ini merupakan pameran ulang tahun mengenai perjalanan pameran seni visual di Jogja Gallery selama satu tahun.Adapun materi pameran yang ditampilkan adalah:1. Kronologi dan dokumentasi perjalanan, baik berupa dokumentasi audio-visual foto-foto maupun dokumentasi cetak.2. Artefak-artefak yang menyertai pameran, seperti poster, kanvas acara pembukaan, benda-benda dan instrumen pendukung karya.3. Karya perupa-perupa pilihan (yang terdiri dari mereka yang pernah tampil di Jogja Gallery maupun undangan khusus) sejumlah 50 perupa/64 karya.Dalam pameran ini kami tidak memberikan batasan mengenai ide karya. Tema apapun diperbolehkan. Banyak karya para perupa yang memberi rangsangan untuk tetap terus menggulirkan ide-ide yang segar dalam kajian seni rupa atau/dan memiliki kaitan dengan konteks dan berbagai kejadian masyarakat dewasa ini.Lewat pameran ini kami siap menerima kritik dan saran yang dapat terus membuat kerja semakin mantap dan agar tetap melahirkan ide-ide brilian. Pada situasi yang lain, Jogja sebagai kota seni, jelas-jelas membutuhkan outlet untuk mengusung berbagai kekhasannya. Untuk itulah, Jogja Gallery ada dan akan terus berbenah.Dalam pameran ini akan dipajang pula lukisan hasil karya KRMT. Indro ‘Kimpling’ Suseno yang merupakan Direktur Eksekutif Jogja Gallery dan Mikke Susanto, Kurator Jogja Gallery.

Dari Realisme Hingga Religiusitas
 Why should I care,2010
195 x 135 cm (2 panels), mixed media on canvas

Kini, kiranya memang sudah tidak perlu dipersoalkan lagi apakah seorang seniman (pelukis) akan melukis dengan gaya, bahan, teknik atau tema apapun yang dia ingini. Juga tidak perlu diragukan lagi, bahwa semua gaya mendapat tempat yang sama dalam dunia seni lukis. Ungkapan yang mengatakan bahwa sebuah gaya adalah dasar bagi gaya yang lain, atau gaya tertentu lebih tinggi nilainya dibanding gaya yang lain, mungkin sudah tidak relevan lagi. Singkatnya, hiruk pikuk segala wacana seputar masalah aliran (isme) tidak perlu harus membayang-bayangi konsentrasi dan mood seorang pelukis dalam perjalanan kreatifnya.

Mikke Susanto pernah menulis bahwa masalah aliran dan gaya tidak lagi menjadi dominasi penting dalam pembicaraan seni rupa., bahkan dinilai sebagai sisa-sisa kepingan masa lalu yang sudah berubah makna dan tujuannya. Dengan menggunakan gaya dan aliran sebagai alat pembanding antar seniman dan karyanya, pembicaraaan seni rupa cendrung terjebak hanya sebagai kegiatan golong-menggolongkan semata, sedangkan kegiatan apresiasi yang sesungguhnya cendrung terabaikan. Karena itu, kini gaya dan aliran hanyalah sebagai penanda dan alat saja, bukan sebagai tujuan pencarian makna dan identitas yang sesungguhnya. Setiap seniman harus menemukan keunikannya sendiri, yang tentu saja tidak bisa dibatasi hanya oleh frame aliran yang sudah ada.1

Lebih jauh, dengan mengutip Suwarno, seni rupa masa kini sering disebut dengan istilah anything goes, atau meminjam istilah Arthur Danto, sudah berada dalam kondisi the end of art. Artinya pemikiran dan gubahan karya seni kini sudah tergantung pada senimannya, mau dianggap sebagai apa: sebagai karya seni atau bukan dan sebagainya. Akibatnya, eksplorasi dan berbagai kemungkinan terbuka ke segala arah. Segalanya menjadi boleh: proses penciptaan, material, media, teknik, gaya dan segala totalitasnya meluncur tanpa batas.2 Praktek seni dengan inovasi inovasi baru terus berlangsung bahkan mengalir deras, sementara di sisi lain upaya pemaknaan terhadap karya-karya semakin hari semakin tertinggal. Artinya laju perkembangan pemaknaan dengan kemunculan karya-karya baru tidak lagi seimbang, melainkan dalam rentang percepatan yang nyaris tidak terikuti. Karena itu tidak mungkin lagi ada otoritas yang berhak mengklaim pemaknaan seni secara tunggal. Segalanya sudah terdesentralisasi, pecah menyebar tanpa standar yang bisa mengeneralisir semua jenis karya dan pemaknaan. Inilah sebuah fase, yang menurut Lyotard, dimana logika tunggal yang dianut oleh kaum modernis sudah mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi. Dalam bahasa yang agak provokatif, Lyotard menulis: .....mari lawan totalitas, .... dan hargailah perbedaan.3

Dengan semangat inilah Pameran Lukisan yang bertema Dari Realisme hingga Religiusitas ini diberlangsungkan, bukan dalam rangka membunuh atau membangkitkan kembali wacana seputar aliran dalam seni rupa, melainkan sebuah ikhtiar dalam merayakan keragaman. Menyebutkan kata realisme dan religiusitas misalnya, hanya dimaksudkan sebagai pemetaan dan penamaan yang memudahkan pemahaman kita, bukan sebagai nama yang bersifat mutlak apalagi menyandang sakralitas sebuah gaya.

Dengan tema Realisme hingga Religiusitas, pameran ini ingin menyerukan semangat pembebasan dari hegemoni gaya tertentu, semacam jembatan lintas mazhab yang mengakui pluralitas gaya dalam seni rupa. Artinya, pameran ini ingin menepis adanya stratafikasi diantara bebagai gaya yang ada. Setiap gaya hanyalah masalah pilihan bahasa ungkap. Karena itu, keragaman gaya ke lima pelukis ini (Evelyna Dianita, Herisman Tojes, Irwandi, Iswandi dan Nasrul) tidak menjadi halangan untuk ditampilkan dalam satu paket pameran, justru keragaman ini menjadi kekayaan kreatifvitas yang mereka miliki bersama.

Bila kita simak, perjalanan berkesenian kelima pelukis ini sudah cukup panjang, namun sejak tahun 2000 semakin menunjukkan kiprah seni lukisnya sejalan dengan kemunculan Sarasah Art Gallery di Padang, dimana kehadiran gallery ini ikut memicu intensitas pameran dan kemunculan pelukis-pelukis muda di Sumatera Barat, dan 2 orang diantara kelima pelukis ini (Evelyna Dianita dan Herisman Tojes) termasuk yang ikut menggagas kelahiran galeri tersebut. Seiring dengan itu, kelima pelukis ini semakin sering pameran ke beberapa kota baik di Sumatera maupun Jawa. Beberapa orang diantara mereka merupakan peraih berbagai prestasi pada event-event seni lukis tingkat Sumatera dan Nasional (Peksiminas, Pameran seni Lukis Karya Terpilih Se-Sumatera, Pameran Karya Terpilih Nusantara dan Indofood Art Awards) dan beberapa prestasi dalam bidang keseni-rupaan lainnya, seperti dapat kita lihat pada biodata masing-masing pelukis.

Menurut pemetaan Suwarno, nama-nama pelukis ini tergolong sebagai generasi era Kontemporer dalam sejarah seni rupa Sumatera Barat (Minang).4 Sementara bagi Ady Rosa dalam pengantar Kurasinya pada Pameran Pentagona di Bumi Minang Padang tahun 2003, dimana Herrisman Tojes dan Irwandi termasuk sebagai peserta, termasuk sederet nama-nama pelukis yang segenerasi merupakan fase ketiga dalam sejarah seni lukis Sumatera Barat setelah era Wakidi (1890-1987) dan kelompok SEMI (Seniman Muda Indonesia - 1947) yang didirikan oleh A.A Navis dan kawan-kawan di Bukittinggi.5

Singkatnya, meminjam istilah budayawan Umar Kayam, kiprah seni lukis kelompok ForT de Kock ini bukanlah tergolong seniman dalam rangka, yang melukis hanya karena akan pameran. Kelima pelukis ini memang sudah menunjukkan aktifitas berkeseniannya secara intens. Pameran yang diadakan di Bukittinggi ini, seperti yang dituturkan kelompok ini dalam pengantarnya, lebih merupakan suatu panggilan, semacam dakwah apresiasi melalui karya-karya yang ditampilkan, sehingga diharapkan terjadi proses perluasan medan berkesenian yang tidak hanya terkonsentrasi pada kota-kota tertentu di Sumatera Barat (seperti Padang). Apalagi dalam sejarah seni rupa Sumtera Barat, Bukittinggi termasuk basis kelahiran sekolah seni rupa (Kweek School) yang didirikan oleh Belanda pada tahun 1856 dengan gurunya Van Dijk, yang kemudian melahirkan pelukis maestro Wakidi (1890-1979).7 Selain itu juga, mengingat Bukittinggi sebagai kota wisata, dimana seni rupa termasuk aset budaya dalam komponen pariwisata, diharapkan pameran ini dapat menjadi investasi budaya dalam membangun infrastrukutur kesenian di Bukittinggi. Kemudian pemilihan istilah Fort de Cock bagi kelompok ini bukan dalam arti membesarkan semangat kedaerahan apalagi diskriminasi wilayah, tetapi lebih sebagai simbol atau benteng yang mengikat emosional mereka karena sama-sama dilahirkan dan dibesarkan di Bukittinggi.

Meskipun telah mengalami pasang surut, ternyata seni lukis bercorak realis hingga kini tetap bertahan. Menurut Mamannoor, hampir satu setengah abad sejak kemunculannya (1845) di Barat, lukisan realis terus hadir berulang bagaikan siklus yang menggelinding dalam bentangan sejarah seni rupa, termasuk di Indonesia.8 Beberapa tahun terakhir, di Indonesia (atau Sumatera Barat khususnya) kebangkitan seni lukis realis ini tampak semakin marak, meskipun tidak melulu beraroma mooi inde. Gejala ini terasa dengan sering munculnya pameran lukisan realis kembali beberapa tahun terakhir ini. Beberapa pelukis yang meneruskan melukis ala wakidi (Wakidian) pun hingga kini tetap menunjukkan eksistensinya (Idran Wakidi, AR. Nizar, Firman Ismailk, Yose Rizal, dan lain-lain). Bahkan belakangan ini ada semangat baru bagi beberapa pelukis Sumatera Barat (yang biasanya agak alergi dengan lukisan realis) kini berbondong-bondong ingin melukis bergaya realis, meskipun dalam rangka studi atau pun sekedar sebagai tamasya kreativitas.

Lain lagi pada Iswandi. Secara visual lukisan-lukisannya masih menyisakan citra realistik, walaupun bukan dalam pengertian konvensional, tetapi sudah mengalami transformasi, baik dari segi bentuk, ukuran, proposrsi, karakter, maupun teknik penggarapan (seperti serat atau anyaman). Artinya objek-objek yang digarap bukan dalam rangka mencapai kemolekkan tetapi lebih sebagai simbol atau icon dari gagasan yang hendak disampaikan.

Tema lukisannya umumnnya menyoroti berbagai perubahan dan benturan sosial, yang dinilai akibat gempuran modernitas. Pada lukisannya yang berjudul Tersudut dan Kota misalnya, amat terasa bagaimana keprihatinan seorang Iswandi atas ekspansi kemegahan gedung-gedung perkotaan (baik toko, mall, maupun gedung-gedung pemerintahan sendiri), hingga semakin hari semakin menggusur dan mengisolasi wilayah dan kehidupan kaum pinggiran. Keprihatinan yang sama juga terlihat pada Menjemput Hijau dan Transformasi. Pada lukisan ini tampak bagaimana kepiawaian Iswandi dalam meng-croping dan meramu simbol-simbol sebagai corong gagasan kritisnya. Dengan menghadirkan logam berwarna millenium sebagai lantai dan dinding beton yang menghujam di Ngarai Sianok, yang terkenal sebagai masterpicenya alam Minang Kabau di Bukittinngi, lukisan ini seakan menyindir arogansi pembangunan yang bisa jadi juga akan menjamah Ngarai Sianok yang hingga hari ini masih perawan. Lukisan ini melambangkan sebuah ikhtiar atau seruan moral agar keserakahan jangan asal melahap semua aset budaya dan lingkungan yang mestinya dilestarikan.

Pada bagian lain, Hanya Sehelai Daun dan Di-tutup-i, seakan menggelitik kita untuk berpikir lewat simbol seperti celana, resletting dan daun kering. Lukisan ini bisa membawa kita ke berbagai arah, misalnya, bagaimana sebuah gaya hidup yang penuh kepura-puraan, membungkus dan menyembunyikan kenyataan. Ketakutan akan kehilangan prestise, jati diri dan ancaman sosial, menggoda kita untuk lari dan menutup diri, atau membungkus segalanya lalu melapisinya dengan mentega, sebagai pewangi kebusukan. Pada hal yang dibungkus pun hanyalah sebuah kekosongan, sebuah nestapa, atau hanya sehelai daun.

Sebuah kontemplasi religius pada Pameran ini hadir lewat lukisn-lukisan Nasrul dengan tampilan yang semakin minimalistik. Meskipun lazimnya dikenal sebagai pelukis kaligrafi, namun perkembangan karyanya akhir-akhir ini mulai meninggalkan citra kaligrafi konvensional. Ia menyebutnya dengan istilah Pseudo Kaligrafi. Artinya, pembubuhan kaligrafi (ayat-ayat Alquran) pada lukisannya bukanlah menjadi objek utama, melainkan hanya sebagai pendukung gagasan dan capaian estetik. Bahkan kalau dilihat sepintas beberapa lukisannya nyaris tidak seperti lukisan kaligrafi, tetapi bila diamati dengan cermat, ternyata beberapa bidang justru terbentuk melalui susunan ornamen (yang menyerupai khat Alquran) yang rapat dan rapi, sehingga seolah-olah menyatu dan menjadi tubuh dari bidang itu sendiri. Meskipun menggunakan material mix media, yang sengaja mengeksplorasi bahan dan teknik (terutama tekstur yang menjadi andalan dan ciri khas karyanya) namun dalam pengerjaannya tampak semua bagian benar-benar digarap dengan tuntas.

Lukisan-lukisan Nasrul umunya merupakan refleksi akan makna hidup dan kebesaran Tuhan. Membaca judulnya (Membaca Tanda-tanda, Menengadah Memandang Sudut, Zikir Malam dan Tawaf), kita seakan sudah berada di gerbang kontemplasi yang hendak dihantarkan. Dengan tampilan yang bersahaja, serta permainan bidang geometrik yang apik, lukisan ini seakan membawa pengamatan kita ke ruang-ruang imaji. Imaji yang hening, sunyi dan lapang, sebuah suasana yang memang sangat dibutuhkan ditengah hiruk pikuk kegelisahan manusia modern. Memang, seperti pengakuan Nasrul sendiri, ia ibaratnya tengah melakukan jihad visual lewat karya-karyanya. Ia seakan berseru bahwa jangan sampai gempuran modernitas menyapu bersih semua akar-akar budaya kita (Budaya Minang khususnya). Apa yang tergambar dalam Tawaf misalnya, yang tampak seolah-olah sebagai miniatur rotasi kosmik, sejauh-jauh kita bertebaran sambil berlari namun tetap berpusat pada ka’bah, yang merupakn simbol pemersatu kehidupan religius umat Islam seluruh dunia. Tawaf di sini bukan sekedar pemandangan ritual belaka, tapi adalah sebuah idiom rotasi kehidupan yang tak boleh lepas dari pusat eksistensinya, yaitu Tuhan.

Pada tema lain, Bayang-bayang Pancang Emas, seakan mengisap imaji kita menyusuri lorong waktu. Di ujung lorong, di depan ngarai (yang sudah mengalami tranformasi bentuk) yang terhampar jauh tak bertepi, berdiri sebuah pancang emas dengan bayangannya yang jatuh melintasi bukit dan lembah. Tema yang senada, pada Bayang-bayang di Sudut Merah, juga mempermainkan pengamatan kita pada sebuah ilusi optik, antara benda dan bayangan seakan identik. Itulah sebuah refleksi kesadaran yang bergulat dalam dimensi waktu. Lewat lukisan ini Nasrul benar-benar mengajak kita menukik jauh ke inti permenungan diri, betapa masa lalu dan masa yang akan datang senantiasa membayangi kesadaran kita pada hari ini dalam menapaki kehidupan.

Erianto Anas
http://www.matarupa.co.cc/2010/03/dari-realisme-hingga-religiusitas.htm


KOOR, PENTAGONA+

Lazimnya, Koor merupakan istilah yang dinisbatkan pada kelompok paduan suara (vocal group), dimana para pesertanya saling melantunkan suara, nada, rasa, bahkan gerak bila perlu, secara bersama. Keragaman warna, tipe dan teknik pengolahan suara mereka sengaja ditata dalam satu arah, nilai dan citra tertentu.

Dalam pameran ini, koor juga dimaksudkan dalam pengertian senada. Keenam personil kelompok seni Pentagona+ ini (Amrianis, Dwi Agustyono, Herisman Tojes, Irwandi, Nasrul dan Zirwen Hazry) menggelar masing-masing karyanya dalam satu tatanan visual. Tetapi Koor Pentagona+ di sini bukan berarti meniadakan keragaman menjadi satu rupa tunggal, dan juga bukan hadir untuk saling menabrak. Koor di sini identik dengan pengelolaan sebuah pluralisme kreativitas. Segenap perbedaan dan keragaman ungkapan estetik ke enam perupa ini sengaja di tampilkan menjadi satu harmoni. Hasilnya bisa membentuk sebuah bentangan keragaman dan kekayaan rupa yang saling melengkapi, saling mengisi dan membangun satu tatanan visual secara menyeluruh.

Sejalan dengan itu, Pameran Lukisan Koor Pentagona+ ini juga dimaklumi sebagai sebuah perayaan kebebasan kreativitas para seniman rupa ini. Setiap ungkapan visual mereka, dengan kecendrungan yang amat personal sekalipun, mendapat tempat, apresiasi dan pengakuan yang setara. Ini berarti bahwa hegemoni apalagi keangkuhan gaya tertentu tidak lagi mendapat tempat. Artinya dari sudut kreativitas, posisi mereka tetap berada di wilayah privatnya masing-masing. Tetapi dari bingkai (tema) pameran ini, mereka tentu berada di luar cangkang personalnya. Segenap keunikan dan keragaman mereka mencair, saling mengisi ruang-ruang visual yang dibangun secara bersama. Jadi Koor di sini pada prinsipnya lebih mengacu pada inti semangat bahwa mereka sama-sama aktif berproses, mengeskpresikan ungkapan estetiknya, mencipta karya rupa, dan secara akumulatif berarti sama-sama melantunkan sebuah irama rupa, sebuah paduan visual secara bersama.

Amrianis

Seperti biasa, umumnya karya-karya Amrianis menunjukkan kecendrungan pada corak surrealis. Bentangan realitas yang digambarkan bukan lagi dalam setting landscape biasa, sebagaimana lazimnya dalam kenyataan sehari-hari. Berbagai aspek yang menjadi ciri realitas sehari-hari (seperti perspektif dan relasi antar objek) sudah ditata dengan cara baru, sesuai citra dan kehendak perupa, yang pada intinya konsekuensi dari visualisasi pesan yang hendak diusung. Meminjam ungkapannya sendiri: sebagai media komunikasi, sebuah karya seni rupa (murni) mesti mengusung sebuah isu. Apa artinya sebuah karya jika tidak menyatakan apa-apa?

Pada pameran ini karya-karyanya tampil dengan judul Tetaer Malin Kundang, Hegemokrat, Sisa yang Tersisa, dan Rayuan Pulau Kelapa. Secara visual, tampaknya ada semacam metamorfosis (perubahan bentuk dan tampilan) pada karya-karya ini. Mulai dari kehadiran objek yang cukup riuh, sedikit heroik, full area, full colour, secara berangsur-angsur pada karya berikutnya tampak makin menyusut dan pada karya terakhir malah menjadi sangat minimal (dengan komposisi yang juga tidak lazim). Meskipun bisa dianggap sebagai sikap dan konsepsi kekaryaan yang belum terstruktur dan konsisten, ini tentu sesuatu yang bisa dipahami dan tidak terelakkan dalam sebuah proses kreatif, yang lazimnya memang selalu gerah dan aktif mencari hal-hal baru.

Pada intinya karya-karya Amrianis ini menyorot berbagai kesenjangan dan kritik sosial politik. Teater Malin Kundang misalnya, merupakan sebuah gugatan atas wacana Malin Kundang yang lazim dipahami selama ini. Di sini, Amrianis menggambarkan bahwa kisah Malin Kundang bukanlah kisah kedurhakaan seorang anak, melainkan sebuah perebutan kekuasaan bahkan pertarungan antar seorang ibu dan isteri terhadap si Malin. Kemudian pada Hegemokrat, ia mengambarkan sebuah stratafikasi posisi tawar. Sebuah isu demokrasi, birokrasi, otoritas dan sejenisnya pada intinya tak lebih dari sebuah hegemoni atas lapisan yang posisi tawarnya rendah bahkan tertindas. Dan pada Sisa dari yang Tersisa tampak melambangkan sebuah keprihatinan terhadap kesenjangan sosial yang amat tajam dan tidak manusiawi, yang digambarkan dengan seorang perempuan tua (simbolisasi kaum marginal) yang hanya menyauk, mengais sisa-sisa dari yang tersisa..

Dwi Agustyono

Perupa yang muncul sejak tahun 2000 ini tergolong amat produktif. Hingga kini jumlah karyanya sudah mencapai hitungan lebih dari 100. Secara visual, umumnya karya-karyanya tampak sangat molek. Ini ditunjang oleh permainan warnanya yang segar dan komposisi objek yang dinamis. Tampilan karya-karyanya seakan menggambarkan begitu asyiknya ia mengutak-atik bentuk-bentuk sederhana (seperti kubus, bola-bola, tabung, pipa, tali temali dan sejenisnya) sebagai objek utama karya-karynya. Namun demikian bukan berarti serta merta karya-karyanya juga bermakna sederhana. Justru di balik objek-abjek sederhana itu bercokol berbagai imajinasi, gegasan, refleksi bahkan juga kritik sosial yang cukup pedas.

Kali ini karya-karyanya tampil dengan judul Kehilangan Hakikat dan Well Come. Judul karya ini menyiratkan sebuah refleksi yang cukup dalam. Pada hal secara visual, karya ini menggambarkan permainan bulatan-bulatan, tabung, jaringan pipa, dan deformasi sebagian anatomi tubuh manusia. Tetapi itulah bahasa visual khas milik Dwi Agustyono. Semua itu merupakan setumpuk simbol, rangkaian jejaring semiotik yang mengandung pesan yang tidak sederhana. Kedua karya ini merupakan abstraksi dari kritik atas sikap dan prilaku yang tidak pada tempatnya dalam menilai, menghargai dan menempatkan sesuatu yang amat vital dan berharga dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada Kehilangan hakikat misalnya, digambarkan betapa suatu bagian yang amat berharga sekali pun bila di sia-siakan pada hakikatnya juga kesia-siaan bagi yang lainnya. Begitu juga pada Well Come, sebuah tema yang amat kontekstual, yang menyorot betapa tidak strategisnya posisi dan keberadaan patung selamat datang di Jakarta saat ini karena telah tersembunyi di balik lalu lintas jalan layang yang melayang ke sana kemari di angkasa.

Herisman Tojes

Berbeda dengan sosoknya yang tegap, umumnya karya-karya perupa ini justu menampilkan kesan yang lembut, baik dari segi warna, goresan maupun iramanya. Meskipun sudah aktif berkarya sejak tahun 1980, kesan itu tetap tergambar pada karya-karyanya hingga hari ini.

Kali ini ia tampil dengan karyanya yang berjudul Selaput Terawang Putih #2, Denyut, dan Legislasi. Tampilan karya-karya ini seakan menunjukkan kecendrungan Tojes yang kian minimal. Hanya ada setumpuk objek ditengah bidang kanvas. Latar yang biasanya terbagi dalam bidang-bidang liris cukup ramai, kini hanya dibagi menjadi beberapa bidang besar, dengan gradasi warna yang nyaris sama. Secara keseluruhan karya-karya ini menggunakan gradasi warna monochrome abu-abu kehitaman. Sedangkan konsentrasi pada objek kini tampak kian memberat, yang diperkaya dengan teknik garapan yang lazim digunakan pada lukisan bergaya abstrak.

Secara tematik, pada intinya Tojes mengangkat fenomena seputar feminiminitas, genital dan sesksualitas perempuan, dimana lazimnya hal ini dianggap sebagai sesuatu yang sangat halus, lembut bahkan juga lemah. Tetapi Tojes melihatnya dari sisi yang berbeda. Baginya justru ada energi besar, ada dinamika yang luar biasa tersimpan dibalik semua itu. Pada Denyut misalnya, tampak bagaimana ia menggambarkan betapa sebuah energi berproses, tumbuh dan terus berkembang dalam rahim perempuan, yang lazim kita kenal sebagai cikal bakal kehidupan. Demikian Tojes melihat sampel kekuatan tersembunyi dalam dunia feminimitasnya perempuan.

Irwandi
Sejak mulai aktif berkarya pada tahun 1994 hingga kini, boleh di bilang karya-karya perupa yang satu ini masih eksis dengan corak abstraknya. Tentu saja bukan berarti tanpa dinamika kreatif sama sekali. Bila dicermati, secara umum setidaknya ada dua kecendrungan baru pada karya-karyanya beberapa tahun terakhir. Pertama, tidak seperti biasa yang warna-warnanya cendurng beraroma tragedi, mistis dan introvert, sekarang karya-karyanya cendrung menampilkan warna-warna segar, cerah dan berkesan optimis. Kedua, ada kecendrungan membagi ruang atau pun objek dengan bidang-bidang besar yang ditimpali gradasi warna yang harmonis, yang lazim terlihat pada lukisan bergaya realisme foto, yang banyak kalangan menilai diadopsi dari trend teknik photography, photo art, dan sejenisnya. Di samping teknik garapannya yang mumpuni, ini tentu sebuah upaya kreatif dalam mencari nilai tambah dan kejutan visual pada karya-karyanya.

Pada pameran ini Irwandi tampil dengan karyanya Di bawah Bayang-bayang Merah, Menjemput Musim dan Di Antara Bayang dan Batasan Biru. Mirip dengan visualisasi karyanya, judulnya pun penuh abstraksi, padat dan puitik. Pada intinya karya-karya ini merupakan abstraksi dari nilai-nilai, relasi sosial, semangat, dan visi pencerahan. Di Bawah Bayang misalnya, menggambarkan betapa pentingnya sebuah bayang-bayang dalam menunjang keberadaan sosok bendanya sendiri. Demikianlah sebuah metafor dari kompleksitas relasi sosial. Mulai dari masyarakat DPR hingga rakyat paling bawah sekali pun misalnya, tidak bisa dipungkiri ada inter-relasi yang saling berkontribusi membangun jejaring dan tatanan sosial masyarakat secara menyeluruh. Demikian juga dengan Menjemput Musim. yang menampilkan irama dan gerak objek sederhana dengan latar gradasi monochrome hijau, abstraksi sebuah spirit pembaruan yang menggeliat ingin keluar dari suatu kukungan menuju pencerahan.

Nasrul

Boleh dibilang karya perupa yang satu ini tampaknya sedang mengalami sebuah proses dan dinamika kreativitas. Bermula dari karya-karyanya bercorak kaligrafi, secara perlahan pada karya-karya berikutnya bergeser menjadi pseudo kaligrafi (yang kelihatan seperti kaligrafi), dan akhirnya pada hari ini kesan kaligrafi itu seakan mulai menghilang.

Bila dicermati, satu hal yang tidak beregeser dari karya-karyanya hingga hari ini yaitu pada penggarapannya, yang amat kaya dengan eksperimentasi teknik (tekstur). Memang secara visual, karya-karya Nasrul tidak menonjol dari segi objek, seperti pada karya-karya yang sengaja mengumbar keriuhan objek. Namun teknik garapan (tekstur) ini seakan menjadi brand dan daya pikat utama pada karya-karyanya.
Kali ini karya-karya Nasrul tampil dengan judul Pancang Emas Di Batas Cakrawala 2, Pancang Emas Di Batas Cakrawala 3 dan Pancang Emas Di Batas Cakrawala 4. Judul-judul karya ini seakan menggambarkan sebuah tema yang senada, paling tidak sebuah tema berseri. Secara visual tampilan karya-karya ini memang tidak jauh berbeda. Bulan besar memerah, latar gelap, hamparan alam dan pasir putih di kejauhan, gunung tandus yang di sekujur badannya tersebar lobang-lobang magma memerah, menjadi objek kunci karya-karya ini. Sekilas karya-karya ini berkesan tenang, namun bila dicermati lebih khidmat, perlahan seakan ada suasana ganjil menikam dari dalam, ada suatu rasa yang bergetar. Karya-karya ini merupkan refleksi dari sebuah pancang, yang merupakan batas atau wilayah yang berfungsi sebagai pengingat kesadaran. Namun entah kenapa pancang ini selalu bergeser entah sampai ke mana, sehingga sebuah peristiwa, sebuah kealfaan hari kemarin selalu berulang dan tumpang tindih merasuki kesadaran hari ini.

Zirwen Hazry

Zirwen, dapat dikatakan termasuk perupa yang amat mengutamakan kecakapan teknik melukis (mengambar), yang lazimnya sangat diandalkan bahkan menjadi prasyarat dalam lukisan bergaya realis, terutama realisme mooi indie. Berbagai aspek penggarapan seperti anatomi, proporsi, perspektif, prinsip pencahayaan, plastisitas objek dan sebagainya, tidak luput dari perhatian. Namun harus dicatat bahwa ia bukan melukis untuk pencitraan realis dalam pengertian konvensional. Secara visual karya-karyanya memang menampilkan dan menggarap objek-objek secara realistik (umumnya vigur bocah), namun objek-objeknya bukan ditata pada pentas (hamparan) realitas yang alami. Yang dihadirkan adalah kolaborasi antara realitas, citra dan kehendaknya sendiri. Hasilnya adalah sebuah realitas yang sudah diutak-atik, realitas yang ganjil, kontradiktif, penuh ironi dan kadang juga lucu.

Kali ini Zirwen tampil dengan karya-karyanya yang berjudul Ironi Kehidupan, Menjadi tamu di rumah Sendiri, dan Katakan dengan Senyum. Setting objek karya-karya ini tampak sangat dramatik, laksana sebuah panggung drama yang sengaja ditata sedemikian rupa dengan konsep dan visi tertentu. Tingkah vigur dan asesoris visual sekitarnya tampak menggambarkan sebuah simbolisasi pesan yang cukup kritis dan mengelitik. Sebuah introspeksi yang jujur atas kealfaaan, kebodohan, juga kemunafikan diri sendiri, yang secara totalitas akhirnya bisa merugikan diri, masyarakat dan juga bangsa sendiri. Bahkan karena sikap itu juga bisa membuat kita terpuruk jauh dari kemajuan. Pada Menjadi Tamu di Rumah Sendiri misalnya, tampak bagaimana sebuah bola bilyar (sebagai simbol sebuah permainan, sebuah imperialismne budaya luar) begitu entengnya merasuki, membuai dan akhirnya menjajah dunia anak-anak. Yah… sebuah ironi yang cukup mengiris kesadaran!

Erianto Anas
http://www.matarupa.co.cc/2010/03/koor-pentagona.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar